TUAN GURU HAJI MUHAMMAD NAJMUDDIN MAKMUN
Nama asli beliau adalah MA’ARIF, beliau
lahir di kampung Karang Lebah Praya pada tahun 1920 Masehi. Ayahnya bernama
TUAN GURU HAJI MAKMUN (wafat tahun 1947 M). Putra dari Abdul Wahid Bin Abdul Karim.
Tuan Guru Makmun adalah salah seorang Mursyid Tarekat Qadhariyah wa
Naqsabandiyah pada masanya (wafat bulan Safar 1947 M). Silsilah Tarekat
diterima langsung dari guru utamanya yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq
Karang Kelok Ampenan, dan Tuan Guru Makmun baru menyatakan dirinya sanggup
sebagai guru tarekat setelah 40 kali diminta oleh gurunya untuk mengajarkan
kepada orang lain. Pada kali pertama diminta, beliau merasa dirinya kurang
pantas menjadi guru tarekat, lalu beliau mohon ma’af kepada gurunya untuk tidak
dijadikan sebagai guru tarekat, karena masih banyak orang yang lebih alim dan
lebih pantas dari pada dirinya. Alasan ini diterima oleh gurunya. Namun pada
kesempatan yang lain, sang guru memintanya lagi untuk mengajarkan tarekat,
tetapi TGH. Makmun tetap menyatakan diri tidak sanggup untuk hal itu. Begitulah
permintaan sang guru serta jawaban sang murid sampai 39 kali. Akhirnya pada
kesempatan yang ke 40, TGH. Siddiq sendiri datang menemui TGH. Makmun ke Karang
Lebah Praya malam hari. TGH. Siddiq mengatakan : ”Saya ini sudah tua rasanya,
hidup ini tidak akan lama lagi, untuk itu permintaan saya yang terakhir ini
jangan sampai tidak diterima”. Barulah TGH. Makmun menyatakan kesiapannya
sebagai guru tarekat. Penurus dari Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq Karang Kelok
Ampenan. Dan selang beberapa tahun kemudian meninggallah Tuan Guru Siddiq. Pada
waktu sebelum Tuan Guru Makmun mengajarkan tarekat sejak jaman penjajahan
Belanda di Lombok, beliau selalu mengajarkan al-Qur’an setiap pagi sampai akhir
hayatnya. Sehingga muridnya yang tinggal di asrama (mondok) pada waktu itu
kurang lebih 250 orang.
Ma’arif sewaktu kecilnya tinggal bersama
keluarga tercintanya di Karang Lebah kurang Sembilan tahun, oleh kakak beliau
Haji Khalil dan beberapa murid ayah beliau menceritakan bahwa pada waktu
Ma’arif masih bayi, setiap malam selalu ditemukan cahaya terang memenuhi kamar
dalam rumah tempat tinggal beliau, terang bagaikan lampu besar yang menyala
mengitari tubuhnya. Kejadian ini berlangsung selama satu tahun. Setelah itu
selama satu tahun berikutnya (tahun kedua) gelap seperti biasa. Dan pada tahun
ketiga muncul lagi, terang seperti pada tahun pertama sampai akhir tahun selama
dua belas bulan. Setelah itu kembali seperti biasa. Kemudian hal ini dilaporkan
kepada ayahndanya Tuan Guru Haji Makmun, jawaban beliau :”Diam-diam” pertanda
beliau sudah mengetahui dan menyadari maknanya.
Di saat beliau (Ma’arif) berada di rumah,
beliau sering diajak oleh ayahandanya pergi keluar kota dalam rangka menghadiri
acara silaturahmi, tasyakkuran dan lain lain. Pernah terjadi pada suatu hari,
beliau diajak menghadiri acara pemakaman salah seorang jema’ah yang meninggal
di desa Kembang Kuning Lombok Barat. Waktu itu ayahnya dijemput dengan mobil
sedan, setelah ayahandanya duduk berdampingan dengan sopir, dan sambil menuggu
anak murid yang mengaji al-Qur’an di santren atau mushalla. Dan pada saat mobil
mau berangkat, terlintas di dalam hati beliau (Ma’arif) mengatakan “Sak mule
yak paut jai ngiring Abah jak dengan sak gagah-gagah no” (seharusnya yang
pantas menemani ayah adalah orang yang gagah-gagah itu bukan orang yang seperti
ini). Tiba-tiba ayah beliau berkata, “Apa kata hatimu?” “Supaya saya ditemani
orang-orang gagah?” Lantas beliau terdiam dan baru mengerti bahwa hal itu
dinamakan khawas.
Setelah Ma’arif berusia Sembilan tahun,
beliau diantar ke Sekarbela Lombok Barat, untuk mempelajari dasar-dasar ilmu
agama Islam bersama kakak tertuanya Haji Abdul Hamid (wafat 1947 M). Pada waktu
itu Sekarbela mashur disebut “Kampung Ahli Ilmu” yaitu kampung yang dipadati
oleh orang-orang yang mengaji dan para ulama yang mengajar mengaji terutama
dalam ilmu alat /nahwu syaraf (tata bahasa Arab). Sehingga sering kita jumpai
di Sekarbela itu mencabut rumput di kebun ataupun di sawah bernyanyi denga lagu
“ja’a zaidun, ja’a fi’il madhi hingga akhir.
Adapun guru-guru tempat beliau
mulazamah/tetap mengaji waktu itu seperti Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is bin
Haji Muhammad Thaha Sekarbela (lahir tahun 1855 dan wafat tahun 1967 M) Beliau
ini adalah sahabat karib Tuan Guru Haji Makmun Karang Lebah Praya. Mereka
sering saling kunjung mengunjungi guna bersilaturahmi, dan sering kali pada
waktu musim panen padi, beliau datang kepada Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is
sambil mengantarkan zakat fidyah yang dikumpulkan dari sebelumnya, yang
jumlahnya terkadang tidak kurang dari satu ton. Dan pada saat Tuan Guru Haji
Makmun ada halangan. Beliau perintahkan putranya Haji Khalil bersilaturahmi
sambil mengantarkan zakat langsung kepada Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is. Hal
ini dilakukan untuk menempatkan rasa mahabbahnya/ cintanya yang sangat mendalam
kepada TGH. Muhammad Ra’is. Seorang ulama yang sangat alim lagi shaleh.
Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is adalah murid
kesayangan dari Tuan Guru Haji Umar Kelayu Lombok Timur, ayah dari Tuan Guru
Haji Badrul Islam. Begitu juga Ma’arif, beliau termasuk salah seorang murid
kesayangan Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is. Kaena kedekatannya dengan gurunya,
maka beliau sering diajak pergi berduaan pada malam hari menghadiri acara
selamatan atau acara silaturrahmi ke luar kampung Sukerbela. Seperti, ke
gubuk/kampung Bagik Polak dengan mengendarai cidomo/dokar (pedati). Dan dalam
perjalanan Tuan Guru Ra’is tidak pernah berbicara sepatah katapun. Melainkan
hanya berzikir ingat kepada Allah semata. Kecuali setibanya di rumah, Tuan Guru
hanya menyapa dengan kata, “Ma’arif, rani ante ulik mesak?” (Ma’arif beranikah
kamu pulang sendiri?) “Inggih Tuan Guru” jawabnya dengan pelan dan hormat.
Sedangkan pengajian Tuan Guru yang dapat
diikutinya adalah setiap malam yang dimulai setelah isya sampai jam 11 atau 12
malam. Karena begitu lamanya pengajian tidak jarang beliau ditinggalkan tidur
sendiri oleh semua temannya sampai selesai pengajian, yang tentunya do’a
penutup jarang mereka dapat ikuti. Karena keadaan Ma’arif dari sejak kecil
sampai menjelang usia 9 tahun, kondisi kesehatannya sering terganggu,
sakit-sakitan (proganan), sebab itulah beliau waktu itu banyak tidur dan cepat
mengantuk. Adapun guru yang kedua yaitu Tuan Guru Haji Thaha Persinggahan,
sebelah timur Sekarbela. Pada awalnya beliau mengaji bersama puluhan temannya,
di dalam pengajian Tuan Guru menggunakan metode tanya jawab, bila ada murid
yang salah dalam menjawab Tuan Guru langsung berteriak dengan suara lantang
:”Lebak lawuk praye atau merang lawuk Praye?” (Kampung Lebak selatan Praya
ataukah Merang selatan Praya?). Dengan cacian seperti itu akhirnya semua
temennya secara perlahan satu persatu menghilang tanpa khabar. Tinggallah
Ma’arif seorang diri sebagai murid kesayangan. Sekalipun Ma’arif tinggal
sendiri, suara lantang sang guru tidak pernah surut tetap seperti mengajar
puluhan orang. Bila sang murid menjawab pertanyaan tuan Guru dengan benar maka
dengan suara lantang berkata :”Babar muridku, sino muridku” (Begitu, terus
muridku), pertanda beliau sangat senang dan gembira.
Dalam hal menghafal pelajaran, Ma’arif
selalu dibimbing oleh Tuan Guru Haji Ibrahim Lomban Praya, karena pada waktu
itu TGH Ibrahim lebih alim dan umurnya lebih tua dari padanya, juga karena
tempat tinggalnya (pondok) sama-sama dalam satu rumah. Selesai shalat subuh,
beliau ditasmi’ (memperdengarkan hapalan) kitab matan al-Ajrumiyah, matan
al-Bina’, matan al Izzi, kepada TGH. Ibrahim. Ketika akan di tasmi’ matan
alfiyah, Ma’arif keburu pamit untuk pindah mengaji ke Pancor Lombok Timur. Pada
akhirnya TGH. Ibrahim disamping sebagai gurunya juga sebagai sahabat karibnya
dalam mendidik anak-anak madrasah selama lebih kurang 20 tahun. Di madrasah
TGH. Ibrahim tidak pernah lepas mengajarkan ilmu nahwu dan Sharaf pada
kelas-kelas terakhir. Alhamdulillah dengan keikhlasan dan ketekunannya, banyak
murid madrasah menjadi alim dalam ilmu alat. TGH. Ibrahim sering berdo’a:
“Mudah-mudahan aku mati dalam mengajar di madrasah”. Rupanya do’anya
terkabulkan, tepatnya pada hari rabu setelah dzuhur yang mestinya jadwal
mengajarnya di Darul Muhajirin adalah besok paginya (kamis) tetapi Allah
berkehendak lain. TGH. Ibrahim dipanggil oleh Allah pada hari itu dengan tenang
dan selamat, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allahu Ta’ala. Amin.
Setelah kurang lebih 2 tahun Ma’arif
belajar di Sekarbela beliau mohon pamit kepada guru-gurunya, guna melanjutkan
ke Pancor Lombok Timur. Dari Sekarbela beliau langsung diantar ke Pancor oleh
saudaranya Haji Abdul Hamid. Di Pancor beliau diserahkan kepada Tuan Guru Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid dan kepada TGH. Muhammad Badrul Islam. Oleh TGH.
Muhammad Zainuddin, Ma’arif dijadikan murid kesayangan. Karena itu Ma’arif
sering diajak bersilaturahmi ke luar kota. Dan pada hari kamis selalu diisi
pelajaran khitabah/pidato yang langsung dipimpin oleh Tuan Guru sendiri. Dan
waktu itu beliau beserta ustadz Haji Abdul Waris, Iwan Jurang Jaler, dilatih
berpidato dengan menampilkan syair-syair melayu. Pernah pada suatu hari murid
kesayanganya itu diutus ke Mataram dalam rangka menghadiri Muktamar
Muhammadiyah atas nama wakil dari TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Sebagai
bahan yang akan disampaikan, beliau disuruh menghapal dua lembar teks pidato
yang disusun oleh Tuan Guru. Begitu hapal langsung berangkat ke Mataram,
disanalah beliau menyampaikan pesan-pesan dari Tuan Guru. Setelah selesai para
hadirin bertanya-tanya, siapakah gerangan anak kecil yang berpidato tadi?
Seseorang menjawab, “itulah yang namanya Ma’arif murid Pancor asli Praya”.
Di dalam kesempatan yang lain beliau
gunakan juga untuk pergi mengaji kepada TGH. Badrul Islam, rumah Tuan Guru
terletak disebelah utara masjid dipinggir jalan raya. Pengajian Tuan Guru di
masjid Pancor ini sekali dalam seminggu, biasanya pengajian dimulai sebelum
zuhur dan setelah selesai dilanjutkan dengan acara minum teh atau kopi ditambah
jajan. Semuanya disiapkan oleh tuan Guru. Jumlahnya hampir mencapai 80
hidangan/ sele/baki. Setelah selesai mengikuti pengajian Tuan Guru, Ma’arif dan
teman-temannya yang sepondok bangkit bertugas sebagai penjamu tamu. Disaat yang
lain, Ma’arif sering dicari oleh Tuan Guru untuk memijatnya menjelang Tuan Guru tersebut tidur. Setelah
kurang lebih 6 bulan Ma’arif belajar di Pancor, beliau berkirim surat kepada
ayahandanya di Praya, memohon kepadanya agar dikirim belajar ke Mekkah
al-Mukarramah, menyusul kakaknya TGH. Mukhsin yang sudah 2 tahun berada di
Mekkah. Dan juga mumpung usianya masih belum baligh yang tentunya ongkos naik
haji setengahnya biaya orang dewasa yaitu 40 ringgit. Dan jika akan berangkat
nanti setelah dewasa/baligh tentu harus membayar 80 ringgit. Setelah suratnya
diterima oleh ayahandanya, maka isi surat tersebut segera dimusyawarahkan
bersama seluruh keluarga. Ternyata semua keluarga menyatakan setuju dan sangat
mendukung. Akhirnya Ma’arif mohon pamit kepada Tuan Guru di Pancor dan pada
tahun itu juga beliau berangkat ke Tanah Suci Mekkah al Mukarromah yang
perjalanannya kurang lebih 6 bulan.
Setibanya di Mekkah beliau mendatarkan diri
di madrasah Darul Ulum dan disamping beliau belajar di madrasah, beliau sempat
juga belajar di luar madrasah secara khusus. Seperti kepada TGH. Mukhtar Kediri
yang waktu pengajiannya setiap selesei shalat magrib dan pengajian tersebut
tetap diikutinya sampai kurang lebih 5 tahun (selama beliau berada di Mekkah). Setelah
beberapa bulan berada di Mekkah beliau mendapat surat perintah dari ayahndanya
TGH. Makmun, agar beliau bersama saudaranya H. Mukhsin yang sudah lebih 2 tahun
berada di Mekkah, pergi menerima ijazah tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah
kepada Syekh Idris Banten. Syekh Idris Banten adalah salah seorang ulama tasawuf
yang ahli qira’ah dan hafal al-Qur’an dan termasuk penyebar tarekat Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah yang masuk ke Indonesia. Kepada syekh ini beliau belajar
tajwid, membaca al-Qur’an, qira’ah Hafsh dan berbagai hal tentang tarekat dan
seluk beluk tarekat. Setelah dilihat kecerdasan ketekunannya oleh Syekh Idris
maka beliau diminta untuk datang belajar sendirian tanpa ditemani oleh
siapapun. Dan di saat berdua itulah beliau menerima banyak ilmu pengetahuan.
Sesekali beliau dijadikan katib (juru tulis) pribadi oleh syekh Idris. Diwaktu
lain beliau diajak berbincang-bincang membicarakan beberapa hal penting. Semua
perintah guru dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Banyak perintah guru yang
di madrasah untuk mengahapal dan memuthala’ah kembali beberapa kitab maupun
perintah guru yang di luar madarasah. Karena itulah pada 2 tahun pertama beliau
di Mekkah, beliau mengurangi jam tidur menjadi 2 jam setiap hari dan malam.
Namun karena kesehatannya sedikit terganggu maka pada 3 tahun berikutnya beliau
tidur sehari semalam hanya sekedar 4 jam saja. Dan dari Syekh Idris Banten
inilah juga beliau mendapat banyak ijazah, terutama dalam hal ilmu dan amalan
tarekat dan beliau belajar kepada Syekh Idris kurang lebih 5 tahun.
Setelah kurang lebih 2 tahun beliau berada
di Mekkah, barulah kemudian beliau juga mengaji kepada Syekh Muhammad Yasin bin
Isa al-Fadani (Padang). Wafat dan dimakamkan di Mekkah tahun 1990 M. Salah
seorang ulama hadits yang terkenal dengan gelar “Musnid ad-dunia” ahli
sanad(mata rantai) hadis sedunia. Oleh Syekh Yasin beliau diajar sendiri di
Masjidil Haram selama satu jam dari pukul sebelas sampai pukul dua belas malam.
Begitulah halnya selam lebih kurang 3 tahun. Karena kedekatanya yang seperti
itu, maka beliau dijadikan salah seorang murid kesayangan Syekh Yasin. Sehingga
dengan penuh kerelaan dan keikhlasan Syekh Muhammad Yasin menumpahkan semua
ilmunya baik yang secara langsung ataupun dengan ijazah khusus ataupun umum.
Adapun yang ilmu-ilmu yang diterimanya itu semuanya serba kilat, tidak ada yang
diucapkan dua kali, itupun dengan kecepatan tinggi. Namun bagi beliau (Ma’arif)
tidak menjadi masalah yang jelas beliau selalu memperhatikan apa yang dikatakan
oleh Syekh dan setelah pulang dari pengajian dan sesampainya di rumah, barulah
ditulis semua keterangan yang diterimanya tadi tanpa ada yang tertinggal
sepatah katapun.
Pada kesempatan lain, beliau juga belajar
kepada beberapa guru. Antara lain kepada Syekh Muhammad Nuri Trenggano
Malaysia, Syekh Abdul Karim Mandailing Medan, TGH. Ibrahim Kediri Lombok Barat,
selama kurang lebih enam bulan dan di Mekkah juga beliau sangat akrab dengan
TGH. Musthafa Kediri Lombok Barat. Karenanya TGH. Musthafa sering mengajaknya
makan bersama keluarga di rumahnya, dan sering juga diajak bertamasya keluar
kota, seperti ke Tha’if. Beliau juga sering bertemu dengan TGH. Abdul Hamid
Kediri Lombok Barat, yang acapkali mengajaknya makan kerumahnya. Kemudian pada
tahun pertama setelah selesai mengerjakan ibadah haji beliau mengubah namanya
dari MA’ARIF menjadi Haji MUHAMMAD NAJMUDDIN. Nama yang kedua inilah yang
terkenal sampai sekarang. Pada tahun keempat dan kelima berada di Mekkah
terjadilah perang dunia II, sehingga uang belanja sehari-hari tidak terkirim
selama dua tahun. Meskipun penderitaan beliau pada waktu itu sudah hampir tidak
tertahankan, namun Alhamdulillah kegiatan belajar di madrasah maupun di luar
madrasah tidak pernah tertinggalkan, selalu ada bantuan Allah.
Setelah dirasakan cukup lima tahun beliau
berada di Mekkah, beliaupun mohon diri, pamit kepada semua gurunya. Dengan
izinnya maka berangkatlah beliau pulang tanpa membawa oleh-oleh barang berharga
sedikitpun. Sambil menunggu kedatangan kapal laut MAI (Majlis A’la Indonesia)
di Jeddah. Beliau menginap di Jeddah bersama 14 orang temannya dari Lombok yang
akan berangkat juga, salah seorang di antaranya bernama Haji Lalu Mansyur dari
Sakra Lombok Timur. Setibanya kapal, maka tidak lama kemudian para penumpang
menaiki kapal, diantara mereka Kyai Haji Anwar Musaddad Jawa Barat.Di dalam
kapal, Haji Muhammad Najmuddin bergabung dengan Haji Mansur yang kebetulan
pulang bersama istrinya dan seorang anaknya yang berumur dua tahun yang sedang
sakit. Disini beliau membantu Haji Mansyur merawat dan menjaga putranya yang
sedang sakit yang berada dalam ruang opname rumah sakit kapal. Beliau
menyuapinya makan, memberinya minum, menyiapkan obat yang akan diminum dan
selalu berada di sisinya tiap hari dan malam. Tetapi ajal tidak dapat ditolak.
Akhirnya sang anak meninggal dunia dalam kapal di tengah perjalanan menuju
Indonesia.
Pada saat Haji Mansur masih dirundung
kesedihan itu, beliau dihadiahkan olehnya selembar kain sarung yang sudah
dipakainya (setengah baru) sebagai ucapan rasa terima kasihnya atas bantuan
yang diberikan kepadanya. Lantas sarung itu diambilnya kemudian langsung
dipakainya setelah membuang lebih dahulu sarungnya yang tidak mungkin dapat
dipakai lagi. Setelah 40 hari berada di dalam kapal sampailah beliau di
pelabuhan Betawi atau Jakarta. Dan di Betawi kapal istirahat kurang lebih 15
hari. Setelah itu kapal diberangkatkan menuju pelabuhan Ampenan Lombok. Setelah
sampai di pelabuhan Ampenan waktu magrib. Semua penumpang kapal segera turun
dengan disambut oleh keluarga masing-masing, kecuali beliau sendiri. Maka
tinggallah beliau seorang diri, tanpa ada seorangpun yang menyambutnya. Dalam
perasaan sedih seperti itu, perlahan lahan beliau pergi meninggalkan pelabuhan
Ampenan dengan mengendarai cidomo (andong/pedati) menuju arah timur sambil
berpikir “kampung mana yang harus dituju?” maka terlintas dalam benak beliau
kampung Karang Kelok adalah kampong yang pernah dikunjunginya 2 kali, sewaktu
beliau belajar atau mondok di Sekarbela. Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi
ke Karang Kelok malam itu juga, sekalipun cuaca waktu itu agak gelap dan
sedikit gerimis. Setibanya di Karang Kelok beliau diturunkan dari cidomo lalu
berteduh di bawah pepohonan bambu dipinggir sungai sambil menunggu orang lewat
untuk tempat bertanya. Tidak lama kemudian lewatlah seorang pengendara sepeda
kepadanya beliau bertanya, ‘Dimanakah letak masjid Karang Kelok itu?’ si
pengendara sepeda balik bertanya, ‘Elek embe side?’ (Darimanakah anda ini?) ,
‘Saya datang dari Mekkah’ jawabnya polos. ‘oh’, dari kapal yang bersandar
tadi?’ tanyanya lagi. ‘Ya’ jawab beliau. Lalu beliau diantar langsung ke masjid
Karang Kelok oleh si pengendara sepeda.
Setibanya di Karang Kelok kurang lebih
pukul 10 malam, beliau langsung masuk ke dalam masjid. Waktu itu jama’ah masjid
sedang mengadakan acara serakalan (membaca barzanji), setelah selesai acara
para hadirin saling bertanya, siapakah pemuda baru ini?. Salah seorang dari
mereka memberanikan diri bertanya langsung pada beliau, ‘Siapakah anda ini dan
darimana asalmu?’ ‘Dari Praya’ jawabnya. ‘Apakah rumahmu tidak berdekatan
dengan rumah TGH. Makmun?’ Tanya mereka lagi. ‘Dekat, dekatnya itu sudah’
jawabnya. ‘Bukankah anda yang bernama Ma’arif?’, karena dalam keadaan terdesak
dengan jujur menjawab :’ya, saya Ma’arif’, lantas semua jama’ah tercengang
keheranan, dan baru mereka sadar bahwa Ma’arif baru datang dari Mekkah. Maka
dengan tergopoh-gopoh beliau dihidangkan makanan istimewa, pertanda bahwa warga
Karang Kelok ikut bergembira dan bersyukur atas kehadiran beliau yang baru saja
datang dari Mekkah.
Kemudian esok harinya beliau diantar pulang
ke Karang Lebah Praya. Setibanya di karang Lebah beliau disambut oleh keluarga
dengan perasaan terharu serta bingung, sebab 2 hari sebelumnya mereka pernah
menjemputnya ke pelabuhan Ampenan, namun kapal yang ditunggu tidak kunjung
tiba. Akhirnya mereka sepakat untuk pulang sambil menunggu khabar kepastian
kapal yang datang berikutnya. Setibanya dari Mekkah, beberapa bulan kemudian
beliau pergi mengaji kepada TGH. Musthafa Kediri Lombok Barat, kepadanya beliau
mengaji kurang lebih selama 3 bulan. Disamping itu beliau mohon izin kepada
ayahndanya untuk mengaji lagi kepada TGH. Muhammad Zainuddin Pancor Lombok
Timur. Namun ayahndanya menjawab :’Keberkatan ilmu itu tidak saja datang
sewaktu kita bersama guru, namun bisa saja datang setelah kita berpisah, yakni
berada jauh dari tempat sang guru. Karena itu tetaplah kamu di sini, bimbinglah
anak-anak yang sudah banyak ini”. Mendengar jawaban ayahndanya itu, maka beliau
memutuskan diri untuk tinggal bersama keluarga di Karang Lebah Praya. Mulailah
beliau melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh saudara tuanya TGH.
Abdul Hamid beserta ayahandanya TGH. Makmun bin Abdul Wahid. Pada awal mulanya
beliau memberikan pengajian di rumah kediamannya, kemudian pengikut pengajian
semakin lama semakin banyak, sampai tidak dapat tertampung di satu rumah. Lalu
beliau meminjam rumah keluarga sebagai tambahan tempat pengajian. Melihat
keadaan seperti itu, akhirnya beliau berhasrat membangun sebuah gedung
madrasah. Alhamdulillah dengan izin Allah tepatnya pada tahun 1943 M berdirilah
dengan resmi sebuah gedung madrasah yang bernama ‘Nurul Yaqin’ (cahaya
keyakinan), satu-satunya madrasah yang terdapat di Lombok Tengah waktu itu.
Beberapa bulan kemudian, ketika masih dalam penjajahan Jepang, datanglah
seseorang kepada beliau mengkhabarkan bahwa besok akan datang pimpinan pasukan
Jepang, yaitu Kapring Kang (bupati dalam bahasa Jepang) yang bermarkas di
Praya, guna meninjau keadaan madrasah serta akan menginstruksikan kepada semua guru
madrasah agar ikut dalam latihan Tai Sho/ olah raga khas Jepang yang secara
langsung dilatih oleh pihak Jepang. Dengan adanya berita itu TGH. Muhammad
Najmuddin Makmun merasakan sedikit kecemasan serta khawatir bila ada maksud
jahat dibalik semua itu. Lalu Beliau menghadap kepada ayahandanya guna memohon
doa agar pimpinan Jepang tidak jadi datang ke madrasah. Maka dengan ikhlas
Beliau berdoa kepada Allah beberapa saat. Tepat pada jam yang telah ditentukan
pimpinan Jepang yang memakai tongkat itu berjalan melalui depan Madrasah Nurul
Yakin tanpa mau berhenti. Ia langsung saja berjalan menuju arah timur sampai di
Pabrik kampung Surabaya kurang lebih setengah kilometer dari Madrasah. Disana
dia bertanya:”Mana gubuk (kampung) Karangrebah?” dijawab oleh orang: ”Sebelah
timur jembatan tuan besar”. “Oh, ya” katanya. Lalu Jepang itu kembali langsung
ke Markasnya tidak jadi datang hari itu. “Besok hari saya akan datang lagi”
katanya. Kemudian pada esoknya sebelum Jepang itu datang Beliau menghadap lagi
kepada Ayahandanya guna memohon doa lagi agar Jepang itu tidak jadi datang.
Lalu dengan penuh keyakinan beliau berdoa kepada Allah selama beberapa saat.
Betul juga pada jam yang sudah ditentukan pimpinan Jepang tersebut datang
berjalan kaki dari barat ke timur. Tetapi anehnya dia tidak berhenti di depan
Madrasah, malah dia langsung saja jalan ke timur. Sesampainya di pabrik kampung
Surabaya barulah dia bertanya: ”Mana nama Karangrebah?” “Sebelah timur jambatan
besar Tuan Besar” jawab seseorang. Akhirnya dia kembali pulang ke markasnya
tanpa mau berhenti di madrasah yang dicarinya. Dengan memperhatikan kejadian
seperti itu barulah beliau merasa lega bersyukur kepada Allah yang dengan
berkat doa ayahandanya maka beliau beserta guru-guru madrasah terbebas dari
keinginan jahat pimpinan Jepang. Alhamdulillah semuanya telah diatur oleh Allah
Rabbul alamin. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1972 beliau
berangkat lagi menunaikan ibadah haji. Kali ini beliau bertemu lagi dengan
gurunya Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani.
Di saat itu beliau diijazahkan lagi
beberapa ilmu dan kitab. Hal ini disebabkan kedekatan dengan gurunya selalu
terjalin sekalipun berbeda tempat tinggal, karena selalu diikat dengan jalinan
surat menyurat.
“al-murasalah nishful muwajahah” (bersurat
adalah setengah pertemuan), demikian kata nasihat yang sering diucapkan. Dalam
kesempatan itu juga beliau pergi bershilaturrahmi dengan Syeikh Muhammad Hasan
al-Masysyath bersama TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Pancor dan TGH.
Afifuddin Adnan, TGH. Yusuf, dan lain-lain. Ketika itu beliau diijazahkan
beberapa kitab dan amalan tharikat Naqsyabandiyah, serta diperintah agar tetap
mengenakan pakaian jubah. Hal ini karena TGH. Muhammad Najmuddin biasanya hanya
memakai jubah sekali dalam seminggu pada saat shalat Jum’at saja. Sedangkan
untuk memakai kurung dilapisi jubah itu tidak pernah dipakainya sejak jaman
Jepang sampai saat ini kecuali, kecuali sejak dua tahun kemarin, Beliau setiap
saat tetap memakai kurung dan jubah. Hal itu berdasarkan perintah yang diterima
dari Nabi Adam as., Nabi Nuh as. Dan lain-lainnya. Dimana Beliau semua
berkata:”Bila anda tetap memakai kurung kemudian jubah maka kami akan tetap
mendampingimu setiap saat”. Oleh sebab itu sekarang ini akan selalu kita
temukan beliau dalam keadaan menggunakan pakaian kurung kemudian jubah, itu
semata-mata untuk memperoleh berkah serta terhindar dari terkena kuwalat
(tualah manuh).
Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau
langsung pulang menuju rumah barunya di Pondok Pesantren Darul Muhajirin, satu
km arah barat Karang Lebah. Pondok Pesantren ini berdiri di Atas tanah seluas
kurang lebih 3,5 ha. Tanah ini merupakan hadiah dari pemerintah daerah Lombok
Tengah yang pada waktu itu adalah bapak Drs. H.Lalu Sri Gede. Di atas tanah ini
dibangun beberapa buah gedung madrasah yang terlihat sampai sekarang. Namun
sebelum gedung baru ini ditempati, kegiatan belajar mengajar di tampung di
kompleks madrsah Ibtida’iyah Tengari pimpinan ustadz H. Muhammad Syafi’i.
Kurang lebih 350 m arah timur Muhajirin. Kegiatan ini berlangsung kurang lebih
2 tahun. Pondok Pesantren Darul Muhajirin adalah kelanjutan dari Madrasah Nurul
Yaqin Karang Lebah. Karena kondisi waktu itu tidak memungkinkan untuk
mengembangkan madrasah Nurul Yakin secara lebih leluasa. Maka beliau memutuskan
diri untuk pindah ke Pondok Pesantren Darul Muhajirin. Di Pondok inilah beliau
berkhidmat bersama semua keluarga dan semua jamaahnya sampai sekarang ini.
Beliau wafat dengan tenang pada hari Selasa
pukul 13:00 WITA, tanggal 18 Juni 2013 M./9 Sya’ban 1434 H di kediamannya di Pondok Pesantren
Darul Muhajirin Praya Lombok Tengah.
(Dikutip dari Kitab Fawaid al-Hifdzi karya TGH. Muhammad Najmuddin Makmun. Cet.3. Maktabah Bariklana, 2008)
smoga almukarrom ditmpatkan disyurganya Allah swt
BalasHapus